Sebuah kasus pedofilia mengguncang Kabupaten Sumenep, mengungkap sisi gelap dari lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi benteng moral bagi anak-anak. J (41), seorang kepala sekolah dasar, tega memperkosa T (13), anak dari selingkuhannya sendiri, E (43). Yang lebih mencengangkan, E justru dengan sukarela menyerahkan anak kandungnya untuk disetubuhi berulang kali dengan dalih ritual penyucian.
Peristiwa mengerikan ini terbongkar setelah ayah korban, yang telah lama berpisah dengan E, mendapat laporan dari keluarga tentang trauma psikis yang dialami anaknya. Tak terima dengan perbuatan keji tersebut, sang ayah pun melaporkan kasus ini ke Polres Sumenep. Polisi yang bergerak cepat berhasil menangkap kedua pelaku dan menetapkan mereka sebagai tersangka.
Dalam pemeriksaan intensif, J mengakui telah melakukan pencabulan terhadap T sebanyak lima kali di berbagai lokasi, termasuk di rumahnya dan sebuah hotel di Surabaya. Motif di balik perbuatan bejatnya pun terungkap; semata-mata untuk memuaskan nafsu birahinya. Sementara itu, E yang seharusnya menjadi pelindung bagi anaknya, justru terlibat aktif dalam aksi keji ini. Ia bahkan mengantar T ke rumah J untuk diperkosa dengan dalih ritual penyucian.
Perilaku E yang sangat tidak manusiawi ini memancing kemarahan publik. Seorang guru, yang seharusnya menjadi panutan, justru terlibat dalam perdagangan anak. Kasus ini menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan di Sumenep dan mengundang pertanyaan besar tentang pengawasan terhadap para pendidik.
Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep bergerak cepat merespons kasus ini. Kepala Bidang Pembinaan Disdik Sumenep, Moh Fairus, memastikan bahwa J akan segera diberhentikan dari jabatannya sebagai kepala sekolah. Surat pemecatan pun dikabarkan akan segera diterbitkan. Fairus juga mengungkapkan bahwa baik J maupun E masih aktif bekerja seperti biasa sebelum kasus ini terungkap.
Kasus ini menyoroti pentingnya perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan seksual. Perlindungan anak bukan hanya tanggung jawab keluarga, tetapi juga negara. Aparat penegak hukum harus bertindak tegas terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak, dan masyarakat harus turut aktif dalam mencegah terjadinya kasus serupa.
Lembaga pendidikan juga perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan terhadap para pendidik. Proses rekrutmen guru harus lebih ketat, dan pengawasan terhadap perilaku guru harus ditingkatkan. Selain itu, perlu adanya program edukasi seks yang komprehensif di sekolah-sekolah untuk memberikan pemahaman yang benar kepada anak-anak tentang tubuh dan seksualitas mereka.
Kasus pedofilia di Sumenep ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa kejahatan seksual terhadap anak bisa terjadi di mana saja dan kepada siapa saja. Kita tidak boleh tinggal diam dan membiarkan anak-anak menjadi korban. Mari bersama-sama menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang.

